Cara Bijak Mengatasi Penyebab Bayi yang Susah Makan

Ditulis oleh: Redaksi Klikdokter.com

Cara Bijak Mengatasi Penyebab Bayi yang Susah Makan

Menghadapi bayi yang susah makan bisa menjadi tantangan tersendiri bagi Ibu. Setiap waktu makan terasa penuh perjuangan, apalagi ketika bayi menunjukkan penolakan yang alasannya tentu belum dapat Ibu ketahui. Namun, kondisi ini bukan tanpa sebab. Banyak faktor yang bisa mengurangi nafsu makan bayi, baik dari sisi fisik, psikologis, hingga pola asuh sehari-hari.

Mengetahui penyebabnya susah makan akan membuat Ibu dapat mengambil tindakan terbaik. Saat Ibu memahami alasan di balik penolakannya, solusi pun menjadi lebih mudah ditemukan. Dengan begitu, kebutuhan nutrisi harian bayi tetap bisa terpenuhi agar tumbuh kembangnya tidak terganggu.

Beberapa anak tergolong picky eater secara alami, tapi bukan berarti mereka tidak bisa diarahkan untuk memiliki kebiasaan makan yang sehat. Dengan pendekatan yang sabar dan konsisten, bayi akan bisa belajar menyukai berbagai jenis makanan, termasuk yang awalnya sering mereka tolak. Perlu diingat bahwa perubahannya tidak bisa instan, namun proses ini akan memberikan hasil yang signifikan jika dilakukan dengan strategi yang tepat.

Berikut ini adalah beberapa penyebab umum bayi susah makan dan cara bijak untuk mengatasinya, agar ia tetap mendapatkan nutrisi yang dibutuhkan untuk tumbuh aktif dan sehat.

Kepekaan Sensorik yang Mempengaruhi Pilihan Makanan

Bayi memiliki jumlah sensor perasa lebih banyak dibandingkan orang dewasa. Lidahnya sangat sensitif terhadap rasa pahit atau asam yang sering ditemukan pada sayuran dan buah-buahan. Tak heran jika bayi cenderung menolak makanan tertentu, meski sebenarnya bernutrisi. Penolakan ini dapat terjadi karena rasa, tekstur, warna, atau bahkan bentuk makanan.

Kondisi ini sering kali membuat bayi hanya mau makan makanan dengan tampilan atau rasa yang sudah dikenalnya. Jika ia terus-menerus menolak makanan baru dan hanya makan satu jenis makanan saja, ini bisa menjadi indikasi adanya tantangan sensorik. Dalam beberapa kasus, hal ini bisa berkembang menjadi gangguan makan yang lebih rumit.

Untuk mengatasinya, penting bagi Ibu untuk mengenalkan makanan baru secara perlahan dalam suasana yang menyenangkan. Mulailah dari membuat makanan dalam bentuk yang familiar, seperti mencampurkan sayuran halus ke dalam sup atau bubur saring kesukaannya. Sajikan juga makanan dengan warna-warna yang menarik agar bayi tertarik mencoba.

Selain itu, kebiasaan makan sehat harus dimulai dari rumah. Bayi yang melihat Ibu menikmati makanan sehat cenderung lebih mudah menerima makanan serupa. Tetapi jika bayi terus-menerus menolak makan hingga berat badannya tidak bertambah, pertimbangkan untuk berkonsultasi dengan dokter.

Gangguan Kesehatan yang Menurunkan Nafsu Makan

Tidak semua penolakan makan berasal dari faktor perilaku. Beberapa gangguan fisik dapat menyebabkan bayi benar-benar kehilangan nafsu makan. Sembelit, refluks asam lambung (GERD), infeksi pernafasan, atau diare, bisa membuat makan menjadi tidak terasa menyenangkan bagi bayi. Jika tubuhnya merasa tidak nyaman, ia cenderung menghindari makanan sebagai bentuk perlindungan.

Gejala-gejala ini kadang tidak langsung terlihat. Bayi mungkin hanya terlihat rewel, tidak bersemangat saat makan, atau bahkan menangis saat melihat makanan. Dalam beberapa kasus, mungkin ia juga muntah, perut kembung, atau sedikit batuk setelah makan. Hal-hal ini bisa menjadi tanda bahwa ada masalah kesehatan yang memengaruhi proses makan.

Jika Ibu mencurigai adanya masalah medis di balik kesulitan makan bayi, sebaiknya segera konsultasikan ke dokter. Diagnosis yang tepat sangat penting untuk menentukan langkah penanganan berikutnya. Dengan perawatan yang sesuai, kondisi ini umumnya bisa ditangani sehingga bayi kembali berselera makan.

Di sisi lain, memastikan bayi mendapatkan asupan nutrisi esensial tetap menjadi prioritas. Salah satu cara praktis yang bisa Ibu lakukan adalah memberikan vitamin yang mendukung sistem imun dan daya tahan tubuhnya, terutama ketika kesehatannya sedang sedikit terganggu.

Perkembangan Otak yang Memengaruhi Fokus Bayi Saat Makan

Pada masa golden age, otak bayi berkembang dengan sangat cepat, sehingga ia ingin tahu terhadap dunia di sekitarnya. Karena begitu tertarik mengeksplorasi lingkungan, kadang-kadang ia tidak begitu peduli dengan makanan di hadapannya. Fokusnya teralihkan, membuat sesi makan menjadi tidak menarik dibandingkan bermain atau mengeksplorasi benda baru dan ini merupakan bagian alami dari pertumbuhan. 

Namun jika dibiarkan terlalu lama tanpa pengaturan, pola makan bayi akan menjadi tidak teratur dan berujung pada kekurangan nutrisi. Selain itu, mungkin ia menjadi terbiasa mengabaikan waktu makan karena tidak ada rutinitas yang konsisten di rumah.

Membuat suasana makan menjadi momen yang menyenangkan dapat membuatnya lebih tertarik pada makanan. Ajak ia ikut melihat Ibu memilih dan menyiapkan makanan. Misalnya, biarkan ia melihat Ibu memasukkan sayur ke blender ketika membuat bubur, atau melihat Ibu menata piring makan bayi.

Penting juga untuk menerapkan jadwal makan yang tetap setiap hari. Rutinitas memberi sinyal pada tubuh bahwa ini adalah waktu untuk makan, sehingga membangun kebiasaan makan yang baik dan memperkuat asosiasi positif terhadap makanan.

Pola Asuh yang Membentuk Kebiasaan Makan Bayi

Bayi adalah peniru ulung. Apa yang dilihatnya di meja makan akan menjadi referensi utama dalam membentuk sikap terhadap makanan. Jika Ibu sering melewatkan makan atau memilih makanan instan, maka bayi pun cenderung mengadopsi kebiasaan yang sama. Ia juga akan meniru apabila Ibu cukup sering mengonsumsi makanan manis dan berlemak.

Bukan hanya soal jenis makanan, tetapi ia juga akan terbiasa dengan suasana makan di rumah. Jika waktu makan sering disertai tekanan, seperti dipaksa makan, dimarahi, atau diburu waktu, maka ia akan menganggap makan sebagai pengalaman negatif. Hal ini membuatnya semakin enggan untuk makan secara sukarela.

Sebaliknya, ciptakan suasana makan yang tenang dan penuh kebersamaan. Hindari distraksi seperti gawai, karena ini membuatnya tidak menyadari kapan ia kenyang atau lapar. Jadikan makan sebagai momen interaksi yang positif bersama Ibu.

Terakhir, jika Ibu merasa bayi masih belum mendapatkan asupan nutrisi yang seimbang meski sudah mencoba berbagai cara, jangan ragu untuk berkonsultasi dengan ahli nutrisi. Tindakan ini penting untuk memastikan tumbuh kembang bayi tetap berjalan optimal dan mencegah kekurangan nutrisi jangka panjang.

Perkuat Kebiasaan Makan Sehat Sejak Dini

Mengatasi bayi yang susah makan memang butuh waktu, kesabaran, dan pendekatan yang konsisten. Tidak ada satu metode yang cocok untuk semua bayi, karena setiap bayi memiliki karakteristik dan kebutuhan yang berbeda. Namun, dengan mengenali penyebab utamanya, Ibu bisa menyesuaikan strategi yang paling tepat dan efektif.

Mulailah dari hal-hal kecil seperti memperkenalkan makanan secara bertahap, memperhatikan suasana makan, hingga membangun rutinitas yang teratur. Perluas juga referensi dan wawasan Ibu terkait nutrisi bayi agar bisa memberikan solusi yang relevan sesuai usia dan kondisinya.

Gunakan juga bantuan suplemen atau vitamin yang sesuai jika bayi masih belum mampu memenuhi kebutuhan nutrisinya dari makanan utama. Jangan lupakan pentingnya memantau tumbuh kembang bayi secara berkala untuk mengetahui apakah upaya yang dilakukan sudah berjalan sesuai harapan. Sebagai langkah lanjutan, pelajari berbagai tips untuk memberikan sayur dan buah kepada anak yang bisa membantu membentuk kebiasaan makan sehat sejak dini.

Referensi:

  • Science Direct. Parental influences on children’s eating behaviour and characteristics of successful parent-focussed interventions. Diakses pada tanggal 16 Agustus 2024. https://www.sciencedirect.com/science/article/abs/pii/S0195666312003856
  • Clinical and Experimental Pediatrics. How to approach feeding difficulties in young children. Diakses pada tanggal 16 Agustus 2024. https://www.e-cep.org/journal/view.php?doi=10.3345/kjp.2017.60.12.379
  • Springer Nature. A Functional Approach to Feeding Difficulties in Children. Current Gastroenterology Reports, 21. Diakses pada tanggal 16 Agustus 2024. https://link.springer.com/article/10.1007/s11894-019-0719-0